3.30.2008

The Marching March v2.0


March #2: Inspiring March

Maret termasuk bulan favorit gue selain Desember. Kenapa? Karena di dalamnya terdapat hari-hari yang setiap kali tiba padanya, membuat gue menyadari akan sesuatu, atau paling tidak cukup senang bisa berinteraksi dengannya. Ada beberapa “Hari Nasional” di bulan Maret ini yang mungkin tidak begitu populer (ya, memang karena pada hari itu bukanlah hari libur dengan tanggal merah). Salah satu yang cukup menyenangkan bagi gue adalah adanya Hari Musik Nasional pada tanggal 9 Maret. Cukup membanggakan ketika mengetahui pemerintah Indonesia sudah mulai menyadari bahwa musik di negeri ini mempunyai suatu potensi besar. Tapi dalam prakteknya, dukungan terhadap musik dan musisi Indonesia memang belum maksimal. Bagimana tidak, bahkan sampai sekarang pembajakan musik lokal masih marak (P.S: Mohon maaf bapak-bapak pejabat, saya sebenarnya termasuk pengkonsumsi bajakan...tapi cuma bajakan album-album luar loh. Selebihnya, untuk album musisi lokal terutama yang di indie scene, saya beli CD aslinya kok. Hehehe).

Masalah di industri musik Indonesia sebenarnya hampir mirip dengan masalah di dunia pertelevisian dan perfilman kita (film akan dibahas kemudian). Semua major label hanya mengeluarkan produknya yang “itu-itu saja”. Rasanya, gejala ini muncul setelah masa krisis ekonomi. Meskipun industri ini bisa bertahan, tapi semakin lama malah semakin menurunkan (atau memonotonkan?) kualitas produknya. Atas nama penyelamatan pangsa pasar, para produser major label kemudian konsisten dalam merilis produk-produknya berupa musik pop ringan tanpa adanya variasi produk yang cukup berarti. Tapi untung saja, para pemusik dan produser dari scene indie kemudian menyelamatkan pasar. Kenapa “menyelamatkan”? Karena musik-musik ini memang menawarkan berbagai jenis alternatif suara-suara yang bisa didengar. Tapi memang mereka hanya mampu menyelamatkan (dalam artian benar-benar menyelamatkan) para penikmat musik dalam skala terbatas saja. Akses terhadap produk alternatif ini belum “dari Sabang sampai Merauke”. Masih banyak penduduk Indonesia yang “dibodohi” oleh hegemoni industri musik besar. Yang menyedihkan, pembodohan pasar ini tetap berlangsung hingga sekarang. Tapi gue secara pribadi bersyukur karena bisa punya akses ke scene ini. Bayangkan kalau gue termasuk di dalam daftar berjuta-juta orang Indonesia yang mau-maunya dibodohi industri besar. Waks! Tapi dalam hal ini, gue bukan sekedar mencaci maki musik-musik hasil keluaran major label kok. Sedikit banyak, gue juga mengikuti perkembangan mereka dan sesekali mengambil segi-segi positif yang ada (termasuk masalah sound), meskipun selama ini bisa dihitung dengan jari.

Yang sedikit mengganjal adalah, pada perjalanannya, justru minor label inilah yang banyak berperan di dalam distribusi musik Indonesia ke luar negeri. Disaat label besar seperti Sony BMG dan Musica sibuk menyebarkan produk “musik pasar”-nya ke seluruh pelosok Indonesia demi platinum, label-label kecil macam Aksara dan FastForward telah berhasil memasarkan produk-produk musik mereka hingga ke Amerika, Australia dan Eropa. Ketika Radja dan Peterpan paling jauh menjual album mereka di Malaysia atau Singapura, album White Shoes & The Couples Company sudah dirilis di Amerika, juga album The S.I.G.I.T. yang sudah bisa dibeli di toko-toko musik di Australia. Mungkin sedikit pengecualian bagi Nidji, yang lagunya dipakai dalam serial Heroes. Tapi itupun kurang jelas, ke wilayah mana saja distribusi album berbahasa Inggris mereka.

Ada semacam ironi disaat label besar hanya berkutat di cakupan regional yang kecil, sementara label kecil sudah merangkul sebagian wilayah dunia. Sebenarnya tidak susah dalam proses internasionalisasi musik lokal kita. Cukup dengan berpartisipasi dalam budaya konvergensi yang telah mendunia. Kata kuncinya adalah “digital media”. Salut kepada “nexxG” dan “equinoxDMD” atas usaha mereka dalam pendistribusian musik lokal kita secara digital. Portal “importmusik” juga patut diacungi jempol atas usahanya dalam menggalakkan digital content.

Hampir sama dengan masalah di dunia musik tanah air, dunia pertelevisian dan perfilman juga dalam kondisi yang memprihatinkan. Mulai dari sinetron-sinetron jiplakan yang asal jeplak, sinetron cinta berjudul nama seseorang, sinetron mistis dubbing-dubbing-an yang lebih nggak jelas, hingga ke film-film hantu norak berbudget rendah sebagai pemuas pasar. Judul terakhir yang semakin memper-norak status rumah produksi milik orang India itu adalah film yang “ngepet-ngepet” itu. Gila aja, apa nggak ada judul lain, nyet? Minimal perbagus lah judul-judul film anda itu. Judulnya dulu aja deh.... Akan tidak menyenangkan kalau tiba-tiba saya muntah di angkot yang saya tumpangi setelah melihat billboard film-film anda yang segede-gede Gaban itu di tengah jalan, bukan?

Yah, mudah-mudahan Hari Film Nasional yang jatuh pada tanggal 30 Maret (tahun) ini bisa menjadi titik balik kebangkitan film-film Indonesia yang bermutu. Terlebih lagi, tahun 2008 ini adalah perayaan satu abad Hari Kebangkitan Nasional. Mudah-mudahan segala macam bentuk industri kreatif di Indonesia mulai diperhitungkan keberadaannya dalam pembentukan ekonomi nasional. Sejauh ini, apalagi setelah melihat judul-judul seperti “Perempuan Punya Cerita” dan “Mereka Bilang Saya Monyet”, rasa optimis itu masih ada. Selebihnya, tinggal menunggu waktu saja sampai calon-calon film berkualitas itu muncul.

P.S: March 22nd is my dad’s birthday. That makes March more special. Well, happy birthday dad! Wish you all the best. I love you.... (you too mom...)

No comments: