5.31.2008

Hey! Hey! You! You!

Agak susah untuk tidak mengomentari banyak hal yang terjadi di bulan Mei ini. Mulai dari demo BBM di mana-mana (yang kebanyakan dilakukan para mahasiswa dan terkadang berlangsung rusuh; padahal untuk setiap aset publik yang mereka rusak, nantinya uang negara juga lah yang harus menggantinya), BLT dari pemerintah yang kacau-balau (mulai dari sumber data yang bermasalah, sampai ke tahap pembagiannya yang tidak direncanakan dengan baik), sampai ke tawuran antar mahasiswa di daerah Salemba (yang dilakukan oleh para mahasiswa goblok dan tolol itu; bagaimana tidak, di saat teman-teman seperjuangannya menuntut pembatalan kenaikan BBM, mereka malah sibuk berebut lahan parkir – atau atas dalih apapun itu).

Nah, daripada memusingkan hal-hal itu, marilah kita sejenak menengok ke hal-hal lain yang tidak terlalu penting, tapi cukup penting untuk dibuat penting (hahaha…pusing kan loe…?). Mmm…misalnya saja dengan membicarakan masalah “Go Green” yang akhir-akhir ini menjadi topik yang lumayan penting (heh…lagi-lagi memakai kata “penting”. Penting gitu…?). Eh, tapi ini beneran. Mungkin mulai tahun lalu, kita jadi terinspirasi dan mendadak “peduli lingkungan”. Banyak sih kemungkinan penyebabnya. Mungkin jadi tersadar sehabis menonton “An Inconvenient Truth”, atau mungkin setelah menonton “Earth”. Atau mungkin karena seringnya tayangan-tayangan dan iklan-iklan di TV yang semakin santer menyisipkan isu-isu lingkungan di dalamnya. Ya…gue nggak nyalahin juga sih…. Asal tidak menelannya secara mentah dan bulat-bulat, tentu saja hal ini patut mendapat dukungan secara penuh. Meskipun tidak sedikit dari para kapitalis dunia yang memanfaatkan isu lingkungan ini (dan melakukan komodifikasi terhadapnya), tapi banyak juga yang dengan sadar dan secara sukarela telah aktif bergerak dalam melakukan “gerakan hijau” ini. Tapi ya itu tadi…jangan sampai salah kaprah.

Di suatu hari nan santai dan menyenangkan, gue menonton sebuah acara di salah satu stasiun TV untuk anak muda. Sebut saja MTV (nama sebenarnya). Kalo nggak salah, acaranya yang ngikutin kegiatan para pesohor selama seharian penuh itu loh… Nah, kali ini, acara tersebut menayangkan kegiatan harian sebuah band. Sebut saja band itu Dygta (juga nama sebenarnya). Ada satu bagian yang agak aneh dan mencengangkan terjadi. Ceritanya, band itu akan melakukan penanaman pohon untuk peringatan Hari Bumi tanggal 22 April. Nah, dengan PeDe-nya mereka dan salah seorang petinggi record label berpose di depan kamera dan berkata “demi mencegah global warming…kita akan menanam pohon nih…. Doain ya biar cepet tumbuh gede!”. Tapi apa yang terjadi…. Setelah gue perhatiin…mereka dengan wajah gembira (entah sadar atau tidak) lalu menanam sebatang kecil tanaman semak! Jo! Semak gitu…! Gue juga baru tau, tuh tanaman lebih bagus dibanding dengan pohon Akasia. Weleh…weleh…mbok ya tanya-tanya dulu gitu mas…. Masa’ tanaman semak? Jangan-jangan ntar mereka akan bilang “global warming is cool!”, kayak si Cincha Lowra itu. Hadooh…. What the meaning, what the maksud…?

Ada satu lagi yang menurut gue sebenernya agak-agak “ganggu”. Entah kenapa, penggunaan batik yang semakin massal ini jadi sedikit aneh. Pernah gue lihat di salah satu TV swasta nasional, di sebuah acara kontes menyanyi, seluruh juri memakai batik. Sumpah! Males banget! Sebenernya ini menjadi suatu dilema besar buat gue: pro atau kontra. Di satu sisi, tentu gue bangga karena banyak orang yang telah memakai batik, atau paling tidak, banyak yang telah aware akan keberadaan batik ini. Tapi ketika banyak yang pergi ke mal dengan baju batik… aduh, kayaknya… gimanaaa…gethow! Tiba-tiba batik masuk ke ranah pop culture. Dalam bayangan gue, batik seharusnya (dan memang begitulah seharusnya) merupakan suatu high culture. Tidak seharusnya overexposed terjadi pada batik-batik itu. Yah… paling nggak, kalo banyak yang pake batik di acara kawinan atau kondangan mah, masih oke-oke aja. Ini… sekarang, nggak di mal, nggak di pasar, semua pake batik. Bahkan, tiba-tiba di sepanjang koridor jalan menuju stasiun pun, para penjual konveksi tiba-tiba mengganti display baju dan kaos mereka dengan batik! Tapi, meskipun batik cetak kelas B (begitu kira-kira menurut seorang pembuat batik cap dan tulis ternama di Bandung) semakin diproduksi secara massal, kita tetap harus bangga dengan budaya Indonesia yang satu ini. Mending kayak gini kan? Daripada negara tetangga kita Males-Malaysia yang memakainya secara massal…. Apapun itu, demi budaya lokal, gue akan tetep mendukung. Kalo gitu…besok jahit baju batik ah! Masa’ pake punya bokap mulu kalo kondangan…hehehe.

No comments: