Tiba sekitar pukul 18.15 WIB, dan melewatkan beberapa band di awal, tidak membuat saya menyesal. Right on time, Monkey To Millionaire sedang beraksi. Jujur, aksi merekalah yang saya tunggu, selain Efek Rumah Kaca tentunya. Memainkan lagu-lagu up beat bernuansa powerpop, performa mereka yang menonjolkan harmonisasi vokal sangatlah handal. Setelah setlist mereka selesai dimainkan, kini giliran Ballads Of The Cliche (BOTC). Saya pribadi sebenarnya tidak terlalu berharap banyak pada BOTC. Mungkin karena musik folk-pop akustik yang biasa mereka bawakan, terkadang terdengar agak membosankan. Hampir saja meninggalkan panggung, tiba-tiba intro "Alright" milik Supergrass terdengar. Yap, hingga lagu selesai, saya tak beranjak. Mereka meng-covernya dengan ciamik. Tak disangka, ternyata kali ini mereka tampil dengan membawakan cover version lagu-lagu milik band-band yang berjaya di masa keemasan "British Invasion" era 90-an. Wah, favorit saya! Berikutnya, berurutan mereka membawakan "Unbelieveable"-nya EMF, "Every Me Every You"-nya Placebo, "Disco 2000"-nya Pulp, dan terakhir "Country House" milik Blur. Wah wah, bisa dibayangkan rasa puas yang didapatkan anak-anak indies angkatan 90-an yang semasa SMP/SMU-nya sangat terpengaruh band-band diatas. Alhasil hingga setlist terakhir, mata saya tertuju ke arah panggung menikmati lagu-lagu cover yang mereka bawakan, sambil sesekali melirik ke arah keyboardis mereka. Kawaii ne..! =D Overall penampilan BOTC dahsyat dan diluar dugaan. Biasa memakai sound gitar akustik sebagai pengiring, kini mereka tampil dengan perlengkapan efek pemanis distorsi overdrive sound british rock.
Tidak banyak dari band-band yang tampil malam itu yang benar-benar outstanding. Berikutnya, hingga akhir acara (sebelum penampilan pamungkas dari Efek Rumah Kaca), hanya ada sebuah band asal Bandung yang menarik perhatian saya. Cascade. Musik shoegaze yang mereka tampilkan benar-benar membius para penonton. Kombinasi dua gitar dengan sound delay-nya cukup tertata rapi dan tidak bertabrakan satu sama lain. Hentakan drum yang "penuh" dan "ramai" juga turut membawa turun-naik emosi penonton dengan membuat beat-beat ketukan yang edgy ditemani dengan sound bass yang sangat "berisi". Benar-benar membuat saya dilema dan berpikir keras untuk menentukan mana yang paling dahsyat antara Cascade atau Efek Rumah Kaca. Namun saya tetap menyimpan jawaban atas pertanyaan ini hingga akhir acara. Membawakan karya-karya mereka sendiri, band yang baru kali ini bermain di Jakarta ini mendapat sambutan hangat dari penonton. Lima lagu yang mereka bawakan ternyata belum mampu memuaskan para penikmat musik cuttingedge yang datang. Alhasil, encore yang diteriakkan memaksa mereka membawakan satu lagu tambahan lagi. Dan... Sempurna! Riuh penonton dan tepuk tangan serasa tak henti-hentinya saat mengakhiri setlist panggung mereka. Sayang sekali, belum ada EP atau LP dari Cascade yang bisa dinikmati atau diputar berulang-ulang untuk sekedar mendengarkan kembali karya-karya mereka yang brilian.
Hampir tiba di penghujung acara, band utama yang menjadi pamungkas adalah Efek Rumah Kaca. Aksi mereka yang akhir-akhir ini mendapat banyak perhatian, sejak dirilisnya album pertama mereka baru-baru ini, membuat barisan venue tiba-tiba merapat ke depan. Sound-sound gitar delay yang dipadukan vokalisasi falseto sang vokalis, Cholil, membuat penonton tersihir diam dan sesekali menyanyikan lirik-lirik lagu mereka yang penuh arti. Track-track handal seperti "Insomnia" dan "Desember" dibawakan dengan ciamik. Favorit saya adalah "Di Udara". Liriknya yang bercerita tentang pembunuhan almarhum Munir benar-benar sangat dalam. Lirik tentang tragedi di pesawat udara itu memberikan pesan bahwa semangat membela hak asasi tak akan pernah mati. Meskipun saat itu kondisi sang vokalis tidak sedang dalam keadaan fit, namun Efek Rumah Kaca memberikan penampilan mereka secara maksimal. Masih terlintas dalam ingatan saat pertama kali melihat penampilan mereka di awal tahun 2006, jauh sebelum album mereka keluar. Tampaknya kekompakan mereka dalam tiap performance benar-benar terjaga hingga kini. Penampilan mereka mengingatkan saya akan Jeff Buckley dan Radiohead. What a gig!
Overall, event ini sangat memuaskan. Benar-benar event penutup akhir tahun yang layak diberi empat jempol! Namun sayang, nilai minus event ini adalah pada tata cahaya panggung yang sangat minim. Beberapa orang yang akan merekam video terlihat enggan untuk meneruskan pendokumentasian aksi panggung beberapa band bagus, dan akhirnya hanya memakai kamera foto dengan lampu blitz sebagai penerang. Namun dibalik semua kekurangannya, acara ini merupakan penutup rangkaian event-event indie di penghujung tahun 2007 yang patut dipuji. Saya akan menantikan "We Are Pop! vol. 4" berikutnya....
Well, Happy New Year then!
No comments:
Post a Comment