Chapter 1:
Kemarin pagi, (07/08) saya melihat berita ringan di salah satu stasiun TV swasta. Seorang kakek di suatu daerah di Jawa Tengah ditemukan meninggal dunia karena kelaparan dan sakit. Sangat ironis, karena hal ini terjadi di depan kantor bupati. Dengan tidak bermaksud menyudutkan kepala wilayah daerah tersebut, saya benar-benar tidak habis pikir. Bagaimana bisa? Sekeras apapun saya menempatkan diri sebagai "orang-orang cuek yang tidak berkepentingan dengan diri kakek itu" pun, saya benar-benar tidak bisa. Adalah sebuah tanda tanya besar ketika orang-orang disekitar tempat kejadian tersebut baru berbondong-bondong meletakkan uang recehnya di sebuah kardus kecil saat sang kakek telah tergeletak tak bernyawa lagi. Sumpah serapah hampir keluar dari mulut saya.
Tidak bisakah ibu-ibu pejabat menyisihkan sepeser pun dari tas-tas mewahnya? Tidak bisakah bapak-bapak yang tergabung dalam klub-klub otomotif ekslusif mengikhlaskan uang kembalian dari biaya perawatan kendaraannya? Tidak bisakah anak-anak sekolah yang orangtuanya sangat berkecukupan menyisakan uang receh dari belanja wardrobe bermerek dan rave party-nya? Semua itu hanya untuk orang-orang yang bernasib kurang baik di sekitar mereka. Tahukah kalian sedang hidup dan tinggal dimana? Tidak perlu acara khusus ke panti-panti yang bermil-mil jauhnya. Dimana kita lewat, ada seseorang yang membutuhkan bantuan kita. Itu juga kalau kita aware dan sadar betul.
Lupakan nasionalisme era jaman perjuangan. Lupakan nasionalisme ala partai politik. Lupakan juga nasionalisme ala "tuntutan masa kini dengan keterpaksaan" lainnya. Asal dirimu dengan sukarela dengan cara apapun untuk menghargai (maksud saya, benar-benar menghargai) apapun di sekelilingmu, kamu tidak sadar bahwa dirimu sudah menjadi bagian darinya. Hargai lingkungan secara menyeluruh. Jaga masyarakatnya, jaga kelangsungan makhluk hidup-nya dan jaga sumberdaya alam yang terdapat didalamnya. Cukup itu saja. Maka secara tidak langsung, semangat ini akan bekerja secara positif meniadakan segala bentuk hal yang tidak kita inginkan. Jika rakyat bangsa ini saling menghargai atas dasar moral dan kebanggaannya terhadap negara Indonesia, akan bisa dipastikan tidak ada lagi kesengsaraan dalam bentuk apapun. Bukankah nasionalisme pada era perjuangan bertujuan menghapus segala bentuk penindasan dan penjajahan? Toh hal ini juga untuk kebaikan kita dan bangsa kita sendiri. Jadi mulailah bergerak.
Nasionalisme tidak harus patriotis. Respek terhadap hal-hal yang sudah semestinya, tidak akan merugikan. Dengan itu, kita akan takjub dibuatnya. Tidak ada lagi orang-orang lemah bertanya, ”Kenapa harus saya?”. Tidak ada lagi orang-orang kuat berkata, ”Siapa berikutnya?”. Artikanlah secara luas. Pada akhirnya, seperti sebuah subsistem sebab-akibat, kita semua akan benar-benar berjalan dengan lapang dan tenang.
Kemarin pagi, (07/08) saya melihat berita ringan di salah satu stasiun TV swasta. Seorang kakek di suatu daerah di Jawa Tengah ditemukan meninggal dunia karena kelaparan dan sakit. Sangat ironis, karena hal ini terjadi di depan kantor bupati. Dengan tidak bermaksud menyudutkan kepala wilayah daerah tersebut, saya benar-benar tidak habis pikir. Bagaimana bisa? Sekeras apapun saya menempatkan diri sebagai "orang-orang cuek yang tidak berkepentingan dengan diri kakek itu" pun, saya benar-benar tidak bisa. Adalah sebuah tanda tanya besar ketika orang-orang disekitar tempat kejadian tersebut baru berbondong-bondong meletakkan uang recehnya di sebuah kardus kecil saat sang kakek telah tergeletak tak bernyawa lagi. Sumpah serapah hampir keluar dari mulut saya.
Tidak bisakah ibu-ibu pejabat menyisihkan sepeser pun dari tas-tas mewahnya? Tidak bisakah bapak-bapak yang tergabung dalam klub-klub otomotif ekslusif mengikhlaskan uang kembalian dari biaya perawatan kendaraannya? Tidak bisakah anak-anak sekolah yang orangtuanya sangat berkecukupan menyisakan uang receh dari belanja wardrobe bermerek dan rave party-nya? Semua itu hanya untuk orang-orang yang bernasib kurang baik di sekitar mereka. Tahukah kalian sedang hidup dan tinggal dimana? Tidak perlu acara khusus ke panti-panti yang bermil-mil jauhnya. Dimana kita lewat, ada seseorang yang membutuhkan bantuan kita. Itu juga kalau kita aware dan sadar betul.
Lupakan nasionalisme era jaman perjuangan. Lupakan nasionalisme ala partai politik. Lupakan juga nasionalisme ala "tuntutan masa kini dengan keterpaksaan" lainnya. Asal dirimu dengan sukarela dengan cara apapun untuk menghargai (maksud saya, benar-benar menghargai) apapun di sekelilingmu, kamu tidak sadar bahwa dirimu sudah menjadi bagian darinya. Hargai lingkungan secara menyeluruh. Jaga masyarakatnya, jaga kelangsungan makhluk hidup-nya dan jaga sumberdaya alam yang terdapat didalamnya. Cukup itu saja. Maka secara tidak langsung, semangat ini akan bekerja secara positif meniadakan segala bentuk hal yang tidak kita inginkan. Jika rakyat bangsa ini saling menghargai atas dasar moral dan kebanggaannya terhadap negara Indonesia, akan bisa dipastikan tidak ada lagi kesengsaraan dalam bentuk apapun. Bukankah nasionalisme pada era perjuangan bertujuan menghapus segala bentuk penindasan dan penjajahan? Toh hal ini juga untuk kebaikan kita dan bangsa kita sendiri. Jadi mulailah bergerak.
Nasionalisme tidak harus patriotis. Respek terhadap hal-hal yang sudah semestinya, tidak akan merugikan. Dengan itu, kita akan takjub dibuatnya. Tidak ada lagi orang-orang lemah bertanya, ”Kenapa harus saya?”. Tidak ada lagi orang-orang kuat berkata, ”Siapa berikutnya?”. Artikanlah secara luas. Pada akhirnya, seperti sebuah subsistem sebab-akibat, kita semua akan benar-benar berjalan dengan lapang dan tenang.
Chapter 2:
Untuk sebatas nasionalisme ”ecek-ecek”, di bulan inilah minimal kita teringat kembali akan-nya. Ini bulan Agustus bung! Sudah hampir dua minggu berjalan kegiatan-kegiatan untuk memperingati kemerdekaan negara kita tercinta. Bahkan mungkin sudah terencana satu bulan yang lalu. Meskipun sulit menghilangkan semangat nasionalisme yang "sok nasionalis", kita mungkin tidak sadar bahwa saat kita sibuk mengurus berbagai macam perlombaan 17-an dengan sabar, kita sedang tulus ber-nasionalisme. Motivasinya? Tentu tidak ada motivasi khusus. Hanya ingin sekedar melihat anak-anak penerus bangsa ini merasakan kegembiraan di hari spesial ini. Syukur-syukur mereka bisa menjiwai semangat nasionalisme secara pantas dan berarti. Tentu saja kita juga tidak ingin mereka hanya bergelut dengan mal, game console, handphone tipe terbaru, band paling happening saat ini, kaos distro yang lagi tren atau hal-hal lain turunan dari budaya instan yang terjadi saat ini. Nasionalisme masa kini harus bisa membawa generasi sekarang ke arah perbaikan, peningkatan perubahan dan revolusi terhadap instan-isme dan individualisme yang anti sosial. Tentu saja ke arah positif.
Nasionalisme era perjuangan bukan untuk disimpan di kepala kita dan (sengaja) diingat-ingat terus saat upacara bendera. Simpanlah di dalam hati, maka engkau akan merasakannya. Klise, tapi saya yang tahun ini berusia seperempat abad setidaknya (sedikit) bisa melakukannya. Seperti mencintai seseorang, jangan cuma mengingat-ingat wajah dan ke-elokannya. Selami dirinya. Saat engkau merasa nyaman dengannya, bahkan di saat terburuk, saat itulah dirinya telah tersimpan di hatimu. Tulus.
What goes around, comes around.
No comments:
Post a Comment